Fenomena malam hari yang gelap terlihat sederhana, namun penjelasannya tidaklah begitu sederhana dalam kosmologi. Kosmologi menganut prinsip bahwa Alam Semesta dalam skala besar bersifat isotropik dan homogen; karena ada lebih dari 400 miliar (1 miliar = 109) bintang di dalam galaksi kita - dengan kata Bumi kita 'dikepung' oleh bintang-bintang - maka seharusnya Bumi kita terang-benderang baik siang ataupun malam. Paradoks ini disebut Paradoks Olber (Heinrich Olber, Astronom Jerman, 1758 - 1840) dan sudah dibahas di Rubrik Cakrawala beberapa waktu yang lewat.
Salah satu solusi paradoks ini adalah menyaratkan Alam Semesta memiliki umur tertentu dan mengembang. Dan ini adalah dua karakter Alam Semesta yang penting dalam ilmu kosmologi. Jadi, malam hari yang gelap adalah satu dari dua contoh objek kosmologi yang paling dekat dengan kehidupan kita.
Radiasi Latar Kosmik Gelombang Radio (biasa disingkat dengan CMB) adalah radiasi elektromagnetik dengan frekuensi pada daerah gelombang radio. CMB pertama kali terdeteksi secara tidak sengaja oleh Arno Penzias dan Robert Wilson pada tahun 1965 (Gambar 2), dua orang insinyur Bell Telephone Laboratories yang sedang melakukan riset untuk memperbaiki transmisi data komunikasi untuk kepentingan industri. Mereka mendapat kesulitan untuk menghilangkan gelombang gangguan (noise) pada daerah gelombang radio yang diterima antena mereka dari segala arah. Segala cara sudah dilakukan termasuk mengusir burung-burung yang bersarang di bagian dalam antena dan membersihkan dari kotorannya.
Gangguan ini ternyata adalah CMB, yang sebelumnya sudah diprediksi oleh George Gamow (Fisikawan Ukraina, 1904 - 1968) pada tahun 1946 sebagai salah satu konsekuensi dari Teori Dentuman Besar (Bigbang Theory). Teori Dentuman Besar dicetuskan pertama kali oleh Georges LemaƮtre (Fisikawan Belgia dan juga Pendeta Katolik, 1894 - 1966) pada tahun 1931. Teori ini menjelaskan kejadian awal alam semesta yang merupakan sebuah titik kecil masif tanpa dimensi dan kemudian meledak sehingga kemudian terciptalah dimensi ruang-waktu, radiasi, dan materi (Gambar 3). Sisa-sisa radiasi yang terjadi saat dentuman itu, sesuai teori ini, seharusnya masih ada sampai sekarang dalam bentuk gelombang radio. Penzias dan Wilson mendapatkan Nobel pada tahun 1978 atas pembuktian eksistensi radiasi ini.
Jika saja Heinrich Olbert mengetahui keberadaan CMB, maka mungkin dia tidak membuat paradoksnya. Seperti halnya cahaya tampak (pada panjang gelombang 380 nanometer - 780 nanometer), CMB juga terdiri dari partikel cahaya (foton), tapi pada panjang gelombang radio (sekitar 1 milimeter sampai dengan 10 milimeter). Foton-foton CMB ini mengisi penuh Alam Semesta kita dengan kerapatan 400 per cm3 - kira-kira ada sekitar 400 foton CMB menembus ujung ibu jari kita setiap saat. Jadi dari satu sisi, Olbert benar bahwa seharusnya Bumi kita dihujani cahaya dari segala arah, sayangnya cahaya itu bukanlah cahaya tampak.
Sampai saat ini CMB adalah bukti terkuat dari kebenaran Teori Dentuman Besar. Teori ini memprediksi bahwa Alam Semesta transparan terhadap cahaya setelah berumur 300 ribu tahun (formasi galaksi terbentuk setelah 5 miliar tahun). Sebelum itu Alam Semesta masih berupa lautan partikel-partikel subatomik yang sangat padat dengan temperatur sangat tinggi (dalam orde miliar Kelvin). Seiring dengan pertambahan umur dan pengembangan Alam Semesta, temperatur juga menurun. Saat cahaya lepas dari "lautan" tersebut, temperatur Alam Semesta sekitar 3000 K - temperatur yang sama untuk foton yang melesat saat itu.
Satelit COBE (Cosmic Background Explorer) yang diluncurkan pada tahun 1989 mengukur temperatur CMB saat ini 2.725 +/- 0.002 K (disebut juga temperatur Alam Semesta) dan membuktikan bahwa radiasi CMB mengikuti hukum Radiasi Kotak Hitam (Blackbody Radiation). Selain mengukur temperatur, Satelit COBE juga "memotret" CMB dan menemukan fluktuasi kecil temperatur pada CMB (anisotropi CMB). Fluktuasi ini kemudian dipelajari sebagai indikasi bagaimana materi dan radiasi terdistribusi saat Alam Semesta masih sangat muda. Pemahaman ini adalah kunci untuk memahami bagaimana galaksi dan struktur berskala besar pengisi Alam Semesta kita terbentuk.
Satelit COBE kemudian dilanjutkan oleh Satelit WMAP (Wilkinson Microwave Anisotropy Probe) untuk mendapatkan fluktuasi CMB dengan akurasi lebih tinggi (Gambar 4). Satelit ini diluncurkan pada tahun 2001 dan memberikan hasil lebih mengejutkan daripada COBE. Salah satunya adalah perhitungan kandungan Alam Semesta yang terdiri dari komposisi 4% dari materi dan radiasi yang kita kenal, 22% dari materi tak-dikenal (disebut Dark Matter), dan 74% dari energi yang misterius (disebut Dark Energy).
Sumber Asli :
diary.febdian.net/2009/05/20/melajak-sejarah-dan-komposisi-alam-semesta/
Komentar